Sabtu, 29 Maret 2014

Pengaruh Batik yang sudah menjadi Kebudayaan Dunia

Pengaruh Masyarakat Terhadap Batik Sebelum Batik Menjadi Budaya Internasional

 

Batik adalah warisan budaya khas Indonesia. Sejarah keberadaannya dan pertumbuhan tidak dapat dibantah. Batik telah ada sejak zaman kerajaan Majapahit dan kemudian memperluas tepat di masa kerajaan Mataran, Solo, dan Yogyakarta. Tidak hanya di Jawa, batik juga telah tumbuh dan berkembang di Pulau Sumatera. Selain itu, pengakuan UNESCO pada 2 Oktober  2009, bahwa batik adalah asli dan tidak berwujud warisan budaya Indonesia telah mencabut klaim Malaysia. Sebagai pewaris batik dan pemilik. Lebih dari sekedar warisan budaya, batik juga telah menjelma menjadi industri dengan kontribusi tinggi terhadap perekonomian nasional. Selain itu, jumlah tenaga kerja dalam kelompok industri (TPT) adalah 1,62 juta orang memang. Nilai ekspor batik bahkan mencapai US $ 32.280.000 pada tahun 2008, dan US $ 10.860.000 dalam tiga bulan pertama tahun 2009.

Tidak ada salahnya jika kita mengucapkan terimakasih kepada Malaysia yang telah mengklaim batik sebagai warisan budayanya. Faktanya klaim itu sendiri berfungsi sebagai pelopor tumbuhnya kembali jiwa Nasionalisme bangsa kita yang sempat tersurut. Harus diakui bahwa klaim Malaysia atas batik sangat meresahkan perajin batik Indonesia. Klaim tersebut secara tidak langsung menjadi pemicu lahirnya Forum Masyarakat Batik Indonesia di Jakarta. Forum ini sadar bahwa generasi batik masa lampau hanya melihat kompetisi antarperajin di dalam negeri. Kini, sudah saatnya perajin batik bersatu, menunjukkan eksistensi bahwa batik adalah warisan budaya Indonesia. Meskipun Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu, dalam Kabinet Indonesia Bersatu I) Aburizal Bakrie menyatakan bahwa usulan nominasi batik ke Unesco bukan reaksi terhadap Malaysia, melainkan untuk kepentingan pengembangan batik Indonesia di pasar Internasional. Namun demikian, setidaknya klaim Malaysia tersebut menjadi salah satu pemicunya.

Dahulu sebelum batik menjadi budaya internasional batik hanyalah sebuah kesenian gambar diatas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaaan raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempatnya masing-masing. Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang.
Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

Tidak hanya itu saja sebelum batik menjadi budaya imternasional batik hanya berperan sebagai budaya nasional. Menilik dari sejarahnya, batik telah mengakar dalam sejarah bangsa Indonesia. Batik tidak hanya tumbuh dan berkembang di pulai Jawa, tetapi juga di luar pulai Jawa seperti Padang di pulau Sumatera. Corak dan motif batik yang sangat beragam, menunjukkan kekhasan masing-masing daerah. Motif-motif tersebut tidak hanya menjadi ciri khas daerah, tetapi juga menjadi simbol budaya daerah tersebut. Di Jawa Timur saja, misalnya, motif dan warna dasar batik Surabaya, berbeda dengan batik Malang atau Mojokerto. Motif-motif batik Surabaya mewakili budaya Surabaya sebagai daerah pesisir, sementara batik Malang tentu saja menggambarkan budaya masyarakat Malang yang sejuk.

Batik telah mendarah daging dalam perjalanan bangsa Indonesia. Maka wajar jika kemudian kita marah, bahkan sangat geram, terhadap klaim Malaysia atas batik kita (dan juga klaim Malaysia atas kebudayaan kita yang lain, misalnya tari pendet, angklung, reog, lagu rasasayange, dan sebagainya).
Kita harus mengakui sebelum batik menjadi budaya internasional di negara kita semangat untuk mempatenkan motif batik di daerah-daerah sangatlah minim. Jadi tidak heran sangatlah muda bagi malaysia untuk mencuri kebudayaan itu. Demi memiliki identitas, negara itu gencar mengklaim batik, reog, tari pendet, beberapa judul lagu, dan angklung sebagai milik sendiri. Kita desak Malaysia meminta maaf. Dengan bermacam dalih, mereka meminta maaf walaupun pada saat bersamaan terus mencari celah kelalaian kita. Dalam iklan pariwisata malaysia, mereka pernah menyebutkan bahwa kita bangsa indonesia bangga atas kekayaan budaya kita, namun sebelumnya kita tidak mengenali dan memanfaatkannya.

Kata kuncinya kelalaian. Kita lalai tidak mengenal budaya sendiri, alih-alih mengurus hak kekayaan intelektual dan hak cipta. Sementara Malaysia, yang bangga atas kemajuan ekonomi, bermasalah ketika tidak memiliki identitas budaya. Padahal sebuah bangsa menjadi besar jika memiliki identitas yang kuat. Untuk menghindarkan klaim negara lain terhadap produk budaya nasional, Indonesia perlu segera mematenkannya di lembaga internasional. Kalau lalai, negara lain seperti Malaysia akan mengklaimnya sebagai produk budaya mereka. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya urgensi dan proaktifnya pendataan dan perlindungan hak cipta atas karya pribadi dan hak paten atas karya manual. Kalau kita lalai tidak hanya budaya kekayaan budaya hilang, bahkan berakibat buruk hilangnya identitas budaya kita.

Dari sisi teknologi sebelum batik menjadi budaya internasional, para pengusaha industri batik umumnya belum melakukan perbaikan sistem dan teknik produksi agar lebih produktif dan mutunya bisa sama untuk setiap lembar kain batik. Itu belum termasuk pemakaian zat warna alam yang masih belum mendapat hasil stabil satu sama lain. Dilihat dari sisi ketersediaan bahan baku sutera,  jumlahnya masih kurang dari permintaan pasar. Selain itu, serat dan benang sutera umumnya masih impor. Dari sisi pemasaran, adalah tantangan dari negara pesaing yang semakin meluas antara lain dari Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam, Afrika Selatan dan Polandia. Segi pemasaran batik Indonesia juga belum fokus untuk mengangkat batik Indonesia sebagai high fashion dunia. Prosedur yang ditempuh untuk pengakuan batik dilakukan sesuai Konvensi Unesco tahun 2003 tentang Warisan Budaya Tak Benda. Konvensi Unesco tersebut telah diratifikasi oleh pemerintah melalui PP Nomor 78 Tahun 2007 dan, terhitung 15 Januari 2008, Indonesia resmi menjadi Negara Pihak Konvensi. Dengan demikian, Indonesia berhak menominasikan mata budayanya untuk dicantumkan dalam daftar representatif Unesco.
UU. Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjamin perlindungan hak kekayaan intelektual komunal ataupun personal. Daerah diberi kebebasan mendaftarkan agar mendapat perlindungan sebagai kekayaan budaya bangsa. Upaya itu sudah dilakukan Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Pemprov Bali. DIY menyangkut batik gaya Yogyakarta, sedangkan Bali terkati dengan tarian dan tetabuhan musik. Dalam UU ini, hak cipta didefinisikan sebagai, “Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” (pasal 1 ayat 1).

Seolah jendela dunia bisnis terbuka lebar ketika pada 2 Oktober 2009 lalu, UNESCO mendeklarasikan batik Indonesia sebagai warisan budaya dunia. Sejatinya, inilah tantangan bagi kita untuk mengangkat batik sebagai salah satu pilar ekonomi rakyat. Deklarasi itu ternyata mampu membangkitkan spirit “berbatik ria” di masyarakat Indonesia. Kabarnya, penjualan batik di sejumlah gerai batik laku keras alias laris manis. Inilah euforia batik. Dengan bahasa lebih bening, euforia batik bakal lebih mendatangkan aura positif bagi pertumbuhan dan pengembangan perekonomian nasional.



Pengaruh Masyarakat Terhadap Batik Sesudah Batik Menjadi Budaya Internasional

UNESCO mengakui bahwa Batik Indonesia mempunyai teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal, bayi digendong dengan kain batik bercorak simbol yang membawa keberuntungan, dan yang meninggal ditutup dengan kainbatik. UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia, memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya tak benda pada saat ini dan di masa mendatang. Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan dan pelatihan

Dewasa ini penggunaan batik makin beragam. Pasar ekspor batik mencapai 125 juta dollar AS per tahun. Sekitar dua juta orang bergantung pada usaha batik, mulai pedagang kecil dan menengah serta pemasok kebutuhan batik beserta keluarganya. Seluruh pihak yang terkait dengan batik telah memahami dan sepakat untuk memperjuangkan agar batik Indonesia dapat diakui oleh Unesco. Mereka berharap, dengan telah diakuinya batik oleh Unesco, pasar (dan industri) batik akan menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam konteks inilah – bahwa  batik bukan sekedar budaya khas Indonesia, tetapi kekayaan intelektual bangsa Indonesia dan nafas serta  penggerak kehidupan sebagian masyarakat Indonesia – artikel ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang: (1) sejarah batik Indonesia, (2) batik sebagai budaya nasional, (3) mempatenkan batik, dan (4) industri batik dan sumbangsihnya terhadap perekonomian nasional.

Guna tetap menjaga dan mengembangkan batik sebagai warisan budaya takbenda Indonesia, masyarakat yang mewakili enam unsur kepentingan mendeklarasikan terbentuknya Masyarakat Batik Indonesia (MBI) yang sebelumnya bernama Forum Masyarakat Batik Indonesia. Menurut Ketua Yayasan KADIN Indonesia Iman Sutjipto Umar di Universitas Indonesia, Depok, hal tersebut menjadi penting mengingat batik sebagai warisan budaya masyarakat Indonesia perlu tetap dipelihara kelestariannya, terutama kepada generasi penerus berikutnya. Itulah sebabnya, tutur Sutjipto, saat menjadi pemrakarsa Deklarasi pembentukan MBI di sela-sela seminar Dinamika Pengembangan Batik Indonesia dan Pameran Batik Ikon Budaya Bangsa, di Depok, Jabar, enam unsur kepentingan mulai dari lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan yayasan, KADIN dan dunia usahanya, juga paguyuban, kelompok dan perseorangan yang terlibat dan komit dalam budaya babk Indonesia, termasuk juga pemerhati, pengamat, dan juga media, diharapkan turut bersama memajukan dan mengembangkan budaya batik warisan budaya takbenda Indonesia.

Ditegaskannya, peranan lembaga ini tidak akan mengambil alih peran pemerintah, masyarakat, dan juga paguyuban, tetapi justru diharapkan mewakili keinginan memajukan dan mengembangkan budaya batik, termasuk wadah untuk membicarakan dan merumuskan kebijakan pemeliharaan dan penjagaan budaya batik, baik dalam skala nasional dan dalam rangka kerjasama internasional. Selain itu, pengembangan batik Indonesia juga didorong, baik dalam rangka pengembangan desain dan motif batik, termasuk dalam rangka kerjasama dengan lembaga perguruan tinggi. Nantinya MBI akan dilengkapi dengan sekretariat dan perangkat organisasi lainnya yang dibutuhkan dalam upaya pendanaan dari sumber yang sah dan tidak mengikat.

Salah satu usulan atau rekomendasi yang diharapkan akan dihasilkan dari seminar ini adalah, dibentuknya pusat pengkajian batik yang dikaitkan dengan wilayah Yogyakarta sebagai salah satu pusat kerajinan. Dengan desain yang selalu berkembang secara dinamis, nantinya akan didirikan Pusat Pengembangan Desain dan Motif di Yogyakarta. Seminar ini mengharapkan lahimya pemikiran dari Fakultas Hmu Pengetahuan Budaya UI, untuk juga membangun pusat kajian dan pengembangan batik Indonesia.

Perkembangan batik yang marak dalam beberapa tahun terakhir ini juga telah ditunjukkan dengan akan dibangunnya Galeri Batik dalam kurun waktu antara satu s/d dua tahun ke depan, yang akan diselaraskan dengan perkembangan Museum Tekstil di Tanah Abang, Jakarta. Sementara untuk keberadaan Museum Batik di Pekalongan saat ini, rencananya akan dipindah ke gedung eks Resi den Pekalongan Pekalongan, guna memadukan secara sinegis seluruh daya dan kemampuan bangsa memajukan batik Indonesia. Pakaian dengan corak sehari-hari dipakai secara rutin dalam kegiatan bisnis dan akademis, sementara itu berbagai corak lainnya dipakai dalam upacara pernikahan, kehamilan, juga dalam wayang, kebutuhan nonsandang dan berbagai penampilan kesenian. Kain batik bahkan memainkan peran utama dalam ritual tertentu. Berbagai corak Batik Indonesia menandakan adanya berbagai pengaruh dari luar mulai dari kaligrafi Arab, burung phoenix dari China, bunga cherry dari Jepang sampai burung merak dari India atau Persia. Tradisi membatik diturunkan dari generasi ke generasi, batik terkait dengan identitas budaya rakyat indonesia dan melalui berbagai arti simbolik dari warna dan corak mengekspresikan kreatifitas dan spiritual rakyat Indonesia.

UNESCO memasukkan Batik Indonesia ke dalam Representative List karena telah memenuhi kriteria, antara lain kaya dengan simbol-simbol dan filosofi kehidupan rakyat Indonesia; memberi kontribusi bagi terpeliharanya warisan budaya takbenda pada saat ini dan di masa mendatang.
Selanjutnya seluruh komponen masyarakat bersama pemerintah melakukan langkah-langkah secara berkesinambungan untuk perlindungan termasuk peningkatan kesadaran dan pengembangan kapasitas termasuk aktivitas pendidikan dan pelatihan. Dalam menyiapkan nominasi, para pihak terkait telah melakukan berbagai aktivitas, termasuk melakukan penelitian di lapangan, pengkajian, seminar, dan sebagainya untuk mendiskusikan isi dokumen dan memperkaya informasi secara bebas dan terbuka. Pemerintah telah memasukkan Batik Indonesia ke dalam Daftar Inventaris Mata Budaya Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar