Setiap kali Bunda mengomel, rasanya aku
ingin pergi dan tak pulang - pulang lagi. Seperti siang ini, Bunda sudah
menyuruhku tidur padahal aku lagi asik latihan menari.
"Ara .... sudah jam dua, Ayo tidur! Nanti malam biar bisa
belajar! Awas nanti malam belajar sambil nguap - nguap terus!" Dalam suatu
hari, tidak cukup satu kali Bunda berkata seperti itu.
Aku masih berlenggak - lenggok mengikuti gamelan tari kupu - kupu. Maklum, dua minggu
lagi aku akan mengikuti Lomba Tari antar sekolah se-Jabotabek.
" Ara .... dengar tidak kata Bunda? Ara kan sebentar lagi
Ulangan Umum ..."
" Entar dulu Bun, sepuluh menit lagi." jawabku sambil
terus melenggok mengikuti gamelan.
" Kapan sih kamu bisa nurut kata Bunda.
Setiap kali dibilangin pasti nawar. Bunda ini kurang sabar
gimana. Ara mau ikut Lomba Tari, Bunda izinin asal ingat waktu. Ayo sekarang
tidur. Kalau susah – susah begini Bunda akan batalin saja. Tidak usah ikut – ikut
lomba tari segala!” ancam Bunda sambil berlalu meninggalkannya.
Wah, gawat juga nih kalau dibatalin.
Setiap malam saja, mimpiku sudah seputar Lomba Tari. Memang ini akan jadi
pengalaman pertamaku mengikuti Lomba Tari, bahkan bisa jadi pengalaman
pertamaku mengikuti lomba Tari, bahkan bisa jadi pengalaman pertamaku naik di
atas panggung. Aku sudah membayangkan tepuk tangan dari para penonton. Semua
mata pasti akan memandangku kagum. Oleh karena itu aku harus berlatih sungguh –
sungguh.
Aku tidak mau membuat kesalahan di atas panggung nanti. Tapi
ancaman Ibu tadi? Bisa – bisa mimpiku memang hanya sekedar mimpi. Untuk urusan
Ulangan Umum, ah nanti saja. Kan masih ada waktu satu hari setelah lomba.
“ Belum tidur juga!” hardik Bunda mengagetkanku.
Buru – buru kumatikan tape recorder dan aku pun berlalu masuk ke kamar.
Tidur pulas, tanpa mimpi.
Sudah hampir satu jam aku pelototin IPS
praktis yang ada didepanku. Tapi terus terang, tak ada satu kalimat pun yang nyantol ke otakku.
“ Ara .... Bunda menyuruh Ara belajar itu demi kebaikan Ara juga.
Bukan untuk Bunda.
Ara senang tidak kalau dapat nilai bagus?” tanya Bunda. Aku
menggangguk.
“ Cawu kemarin bisa dapat rangking 2. Itu
harus dipertahankan, malah kalau bisa ditingkatkan. Lagian pelajaran kelas
empat ini sudah semakin susah. Ara meski tahu, jadi Bunda tidak perlu berkali –
kali ngingetin.”
Kupandangi Raport yang tergeletak di atas
meja. Ranking 2. Tidak jelek memang, masih seperti yang dulu. Pandanganku
beralih ke Piala yang bertengger di atas meja belajarku. Kupelototi tulisan “ Juara III
Lomba Tari se-Jabotabek”. Rasa bangga dan kecewa bercampur jadi satu.
“ Aduh ... anak Bunda kok manyun gitu.
Kenapa?” Bunda menghampiri meja belajarku dengan membawa nampan pudding karamel, kesukaanku.
“ Nih ... Bunda sudah masakin khusus untuk
Ara!” Ibu mencoba merayuku. Aku lirik wajah Bunda yang tampak bahagia. Aku
mencoba tersenyum. Hambar ...
“ Bun ... maafin Ara ya. Coba saja, kalau
Ara menuruti nasihat Bunda, pasti bisa mengalahkan Ryan. Selisih nilai kami hanya
satu. Ara sudah ngecewain Bunda.”
Bunda menatapku dengan penuh kasih sayang.tangannya
yang halus mengusap kepalaku, lembut. Kurebahkan kepalaku ke pelukan Bunda. Tak
terbayangkan olehku, betapa sakitnya Bundaku saat aku membantah perintahnya.
Bahkan aku tidak menyangka kalau Bunda akan
mengijinkan aku ikut sanggar Tari.
“ Bunda akan selalu mendukung hobby Ara,
asal itu baik. Dan yang terpenting Ara tidak melalaikan kewajiban Ara.”
“ Terima kasih, Bun!” teriakku girang.
Aku langsung melompat memeluk Bunda dan terus menciumi pipinya yang
wangi.
Kata – kata Bunda yang selama ini aku anggap sekedar omelan itu, ternyata sangat berarti bagiku.
Aku berjanji dalam hati, tidak akan menyusahkan Bunda lagi. Aku akan jadi anak
yang baik. Terima kasih Bun ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar