Jumat, 22 November 2013

2. Bunda dan Aku


Setiap kali Bunda mengomel, rasanya aku ingin pergi dan tak pulang - pulang lagi. Seperti siang ini, Bunda sudah menyuruhku tidur padahal aku lagi asik latihan menari.
"Ara .... sudah jam dua, Ayo tidur! Nanti malam biar bisa belajar! Awas nanti malam belajar sambil nguap - nguap terus!" Dalam suatu hari, tidak cukup satu kali Bunda berkata seperti itu.

Aku masih berlenggak - lenggok mengikuti gamelan tari kupu - kupu. Maklum, dua minggu lagi aku akan mengikuti Lomba Tari antar sekolah se-Jabotabek.

" Ara .... dengar tidak kata Bunda? Ara kan sebentar lagi Ulangan Umum ..."

" Entar dulu Bun, sepuluh menit lagi." jawabku sambil terus melenggok mengikuti gamelan.

" Kapan sih kamu bisa nurut kata Bunda. Setiap kali dibilangin pasti nawar. Bunda ini kurang sabar gimana. Ara mau ikut Lomba Tari, Bunda izinin asal ingat waktu. Ayo sekarang tidur. Kalau susah – susah begini Bunda akan batalin saja. Tidak usah ikut – ikut lomba tari segala!” ancam Bunda sambil berlalu meninggalkannya.

Wah, gawat juga nih kalau dibatalin. Setiap malam saja, mimpiku sudah seputar Lomba Tari. Memang ini akan jadi pengalaman pertamaku mengikuti Lomba Tari, bahkan bisa jadi pengalaman pertamaku mengikuti lomba Tari, bahkan bisa jadi pengalaman pertamaku naik di atas panggung. Aku sudah membayangkan tepuk tangan dari para penonton. Semua mata pasti akan memandangku kagum. Oleh karena itu aku harus berlatih sungguh – sungguh.
Aku tidak mau membuat kesalahan di atas panggung nanti. Tapi ancaman Ibu tadi? Bisa – bisa mimpiku memang hanya sekedar mimpi. Untuk urusan Ulangan Umum, ah nanti saja. Kan masih ada waktu satu hari setelah lomba.

“ Belum tidur juga!” hardik Bunda mengagetkanku.

Buru – buru kumatikan tape recorder dan aku pun berlalu masuk ke kamar.
Tidur pulas, tanpa mimpi.

Sudah hampir satu jam aku pelototin IPS praktis yang ada didepanku. Tapi terus terang, tak ada satu kalimat pun yang nyantol ke otakku.

“ Ara .... Bunda menyuruh Ara belajar itu demi kebaikan Ara juga.
Bukan untuk Bunda.

Ara senang tidak kalau dapat nilai bagus?” tanya Bunda. Aku menggangguk.

“ Cawu kemarin bisa dapat rangking 2. Itu harus dipertahankan, malah kalau bisa ditingkatkan. Lagian pelajaran kelas empat ini sudah semakin susah. Ara meski tahu, jadi Bunda tidak perlu berkali – kali ngingetin.” 

Kupandangi Raport yang tergeletak di atas meja. Ranking 2. Tidak jelek memang, masih seperti yang dulu. Pandanganku beralih ke Piala yang bertengger di atas meja belajarku. Kupelototi tulisan “ Juara III Lomba Tari se-Jabotabek”. Rasa bangga dan kecewa bercampur jadi satu.

“ Aduh ... anak Bunda kok manyun gitu. Kenapa?” Bunda menghampiri meja belajarku dengan membawa nampan pudding karamel, kesukaanku.

“ Nih ... Bunda sudah masakin khusus untuk Ara!” Ibu mencoba merayuku. Aku lirik wajah Bunda yang tampak bahagia. Aku mencoba tersenyum. Hambar ...

“ Bun ... maafin Ara ya. Coba saja, kalau Ara menuruti nasihat Bunda, pasti bisa mengalahkan Ryan. Selisih nilai kami hanya satu. Ara sudah ngecewain Bunda.”
Bunda menatapku dengan penuh kasih sayang.tangannya yang halus mengusap kepalaku, lembut. Kurebahkan kepalaku ke pelukan Bunda. Tak terbayangkan olehku, betapa sakitnya Bundaku saat aku membantah perintahnya.

Bahkan aku tidak menyangka kalau Bunda akan mengijinkan aku ikut sanggar Tari.

“ Bunda akan selalu mendukung hobby Ara, asal itu baik. Dan yang terpenting Ara tidak melalaikan kewajiban Ara.”
“ Terima kasih, Bun!” teriakku girang.
Aku langsung melompat memeluk Bunda dan terus menciumi pipinya yang wangi.
            Kata – kata Bunda yang selama ini aku anggap sekedar omelan itu, ternyata sangat berarti bagiku. Aku berjanji dalam hati, tidak akan menyusahkan Bunda lagi. Aku akan jadi anak yang baik. Terima kasih Bun .... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar