Selasa, 26 November 2013

23. Perbedaan



Rara bergegas memasuki gerbang sekolah. Di sana, Putri, temannya sedang menunggu dengan senyum lebar. Gadis kecil kelas lima SD itu tampak gembira pagi ini. Rara membalas senyumnya sambil melambaikan tangan. Belum sampai Rara memasuki gerbang, sebuah mobil hitam berhenti tepat di belakangnya. Saat pintunya terbuka, muncullah Azka.
Anak itu meloncat turun dan berlari menuju kelas. Kelihatan terburu – buru sekali. Sekilas Rara melirik mobil hitam yang perlahan meninggalkan sekolah. Ada sedikit rasa cemburu dan minder saat melihatnya. Dia membandingkan mobil tersebut dengan motor ayahnya yang sudah tua. Tiba – tiba ada rasa malu di diri Rara.

“ Ayo, masuk! ” sergah Putri. “ Pagi – pagi begini sudah melamun.” Kata Putri sambil menyeret Rara menuju kelas.

Keesokan harinya, ayah mengantar Rara seperti biasa. Hanya kali ini ayah agak bingung. Tidak biasanya Rara minta turun di perempatan. Padahal, dari perempatan ke sekolah Rara masih lumayan jauh.

“ Kok turun di sini? ” tanya ayah heran.
“ Masih jauh kan ‘nak?” ayah menyakinkan.

            “ Ah, nggak kok ‘yah! Pengen sedikit olahraga saja. Biar sehat! ” jawab Rara mencari alasan. Ayah melongo saja mendengar alasan Rara. Masih dengan rasa heran, ayah meninggalkan Rara untuk bergegas menuju kantornya.

            “ Nah, kalo dari sini aman.” pikir Rara.
            “ Tidak ada teman yang tahu ...” gumamnya

            Dengan senyum yang ceria, Rara melanjutkan perjalanannya ke sekolah dengan jalan kaki. Sesekali anak bertubuh kecil itu melihat – lihat etalase toko yang berjejer di sepanjang jalan yang di laluinya.

            Sesampainya di kelas, Rara meletakkan tasnya ke laci bangku. Belum selesai dia melakukan itu, sebuah tepukan pelan mengenai pundaknya. Rara menoleh kaget. Seketika wajahnya agak terlihat memerah saat mengetahui yang menepuknya adalah Azka. Azka tersenyum bersahabat. Tangan kanannya mengulurkan sebuah bungkusan.

            “ Ini untukmu Rara.” Kata Azka
Rara masih terbengong. Belum tahu harus berbuat apa.

Azka merangkul Rara dan mengajaknya duduk di bangku paling belakang.
“ apa ini? ” tanya Rara begitu mereka duduk.

“ Kue buatan Mba Lasmi. Aku setiap hari di bekali kue macam – macam. Tapi tak pernah kumakan. Habis, aku pengennya kue buatan Ibuku sendiri.” ujar Azka.
“ Oh ...! ” celetuk Rara agak melongo.
“ Azka. Boleh aku tanya sesuatu tentangmu? Tapi maaf, semoga pertanyaanku tidak membuatmu marah.” Tanya Rara beberapa saat kemudian.
           
“ Ha ... ha ... ha .. Kamu ini ada – ada saja.
Ada apa sih sebenarnya Rara? ” jawab Azka.
            “ Mmm ... anu ... itu ...” Rara tergagap.

            “ Itu ... Kelihatannya kamu bahagia sekali ya. Jadi anak orang kaya. Pulang dan pergi ke sekolah selalu di antar dengan mobil mewah. Segala keinginanmu selalu dituruti. Wah ... pasti mainanmu banyak sekali ya.” ungkap Rara
            Azka tiba – tiba terpekur mendengar pernyataan itu.
           
“ Maaf, aku menyinggungmu, ya? ” sesal Rara. Azka mengambil nafas panjang.

            “ Ternyata benar dugaanku. Banyak teman – teman lain yang bertanya tentang hal yang sama. Memang, mereka termasuk kamu yang belum banyak tahu tentang diriku. Semuanya menyangka aku bahagia. Banyak uang, banyak mainan, banyak makanan. Tapi dari itu semua, tahukah Rara, sebenarnya aku menderita sekali. Di rumah aku cuma sendirian. Bahkan adik dan kakak, aku pun tidak punya. Kedua orang tuaku jarang berada di rumah. Paling – paling dalam sebulan, tiga atau empat kali pulang ke rumah.
Setelah itu mereka pergi lagi. Katanya sih bisnis. Aku sampai benci mendengar kata bisnis.” Azka menjelaskan. Rara terhenyak.
Dia tidak pernah membayangkan, kalau dibalik kemewahannya temannya itu tersembunyi sebuah penderitaan. Rara sangat menyesal mengungkit pribadi Azka.
           
“ Maaf ya Azka. Aku betul – betul tidak tahu ” ujar Rara dengan suara penyesalan.
           
            “ Justru aku iri melihat kamu. Pulang dan pergi ke sekolah selalu ada yang mengantar. Ayahmu begitu baik sampai mau mengantarkanmu sampai ke depan gerbang sekolah. Ibumu pasti juga.
Beliau pasti selalu menyambut di pintu rumah ketika kamu pulang. Menyuruhmu mencuci tangan, makan dan menyiapkan piring – piringnya. Ah ..., alangkah indahnya. Dan keindahaan itu tidak ku miliki sama sekali. Begitu, bukan? “

            Rara tersadar. Ternyata keindahan selama ini terlihat hanya semu belakang. Seketika dipeluknya Azka dengan hangat.
            “ Main – mainlah sepuasmu ke rumahku. Ibuku pasti senang menerimamu,” kata Rara.

            “ Betul? “ tanya Azka tak percaya.

            Rara mengangguk gembira. Azka tertawa lebar. Ayah dan ibunya yang meski bukan orang kaya masih memberikanya kasih sayang dan perhatian yang tiada terhingga. Rara merasa bersalah karena beberapa hari ini seolah menyalahkan ayah yang hanya mempunyai penghasilan sedikit. Padahal ayah sudah bekerja sekeras mungkin.

            “ Maafkan Rara ya Azka ... “ bisik Rara
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar